Rabu, 12 Juni 2013

Hukum Menyontek Ujian Karena Terpaksa

Menyontek Karena Terpaksa

Pertanyaan:
Assalamualaikum pak, saya ingin bertanya pada saat UN (Ujina Nasional) 2013 SMP saya berjanji akan jujur dengan semua pelajaran.  Hari pertama aku jujur, kedua aku jujur tapi di hari ketiga aku terpaksa menyontek contekan karena waktu bentar lagi habis. Aku sudah menjawab soal sebisaku dan sudah banyak kujawab tapi tinggal 6 atau 8 lagi soal yang aku karena waktu mepet aku pun terpaksa melihat contekan. Karena itu aku merasa bersalah dan berjanji akan tidak akan melihat contekan lagi di hari keempat dan allhamdulilah di hari keempat aku tidak mencontek karena aku bisa. Yang aku mau tanyakan pak apakah aku berdosa karena terpaksa ? mohon penjelasannya.

Dari: Roby Andreansyah
Jawaban:
Wa alaikumus salam
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, pertanyaan kali ini layak untuk digolongkan pertanyaan yang unik. Karena ada satu istilah mungkin membuat kita menuai tanda tanya. Mencontek karena terpaksa. Sekilas nampaknya biasa, namun sejatinya pernyataan ini cukup mengherankan. Bagaimana mungkin orang bisa mencontek karena terpaksa.
Makan binatang haram karena terpaksa, atau minum khamr karena terpaksa. Ini semua mungkin saja terjadi. Karena dalam kondisi yang mengancam keselamatan diri atau keluarganya, dibolehkan melakukan pelanggaran di atas, karena terpaksa.
Namun dalam kasus ujian, semacam ini tidak ada. Tidak ada ancaman ketika tidak mencontek waktu ujian. Kecuali jika ada siswa yang diancam dengan serius akan dipukuli atau bahkan dibunuh jika dia tidak mencontek. Pada kondisi ini dia boleh beralasan mencontek karena terpaksa. Dan kita sangat yakin, hampir tidak ada istilah orang diancam agar dia mencontek temannya ketika ujian.

Membahagiakan Orang Tua

Kasus yang sejatinya ada adalah tuntutan. Sebagian anak merasa tertuntut untuk berhasil dalam ujian. Dia sangat malu ketika nilai ujiannya merah atau bahkan tidak lulus. Dia merasa sangat resah, memikirkan bagaimana kesedihan orang tua dan keluarganya ketika sang anak gagal dalam ujian. Namun alasan semacam ini belum cukup untuk disebut terpaksa. Karena kita tidak diperbolehkan mengharapkan ridha orang lain dengan mengundang murka Allah ta’ala. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ الله تعالى عَنْهُ وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ سَخَطَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عليه الناس
“Siapa yang mencari ridha Allah namun mengundang murka manusia maka Allah akan meridhainya dan Allah akan membuat banyak orang ridha kepadanya. Siapa yang mencari kerelaan manusia dengan mengundang murka Allah, maka Allah murka kepadanya dan Allah akan membuat banyak orang murka kepadanya.” (HR. Ibnu Hibban dan Sanadnya dinilai Hasan oleh Syuaib Al-Arnauth).
Kedua, bahwa ijazah kelulusan bukan segalanya. Tidak pula menjamin bahwa anda akan mendapatkan kehidupan yang layak karena ijazah. Padahal kita sepakat, menyontek ketika ujian termasuk dosa besar. Karena termasuk penipuan. Penjelasan selengkapnya ada di:
Ujian Mencontek, Bagaimana Status Ijazahnya?
Sementara kita yakin rizki kita di tangan Allah. Dan Allah mampu untuk menahan rizki kita disebabkan maksiat berupa menipu yang kita lakukan ketika ujian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
إن الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ
Sesungguhnya terkadang seseorang dihalangi mendapatkan rizki disebabkan dosa yang dia lakukan. (HR. Ahmad, Ibn Hibban, Ibnu Majah dan yang lainnya).
Karena itu, bertaubatlah kepada Allah dan berjanjilah untuk bersikap jujur ketika ujian. Apapun konsekuensinya. Karena itulah hasil usaha yang mampu kita lakukan. Jika kurang memuaskan, kita bisa berusaha lebih maksimal, untuk menuju lebih baik.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)